A. Benturan kepentingan
Benturan
kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan
kepentingan ekonomis pribadi Direktur, Komisaris atau pemegang saham utama di
suatu perusahaan. Berikut berberapa upaya
perusahaan /organisasi dalam menghindari benturan kepentingan:
1. Menghindarkan diri
dari tindakan dan situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.
2. Mengusahakan lahan
pribadi untuk digunakan sebagai kebun perusahaan yang dapat menimbulkan potensi
penyimpangan kegiatan pemupukan.
3. Menyewakan properti
pribadi kepada perusahaan yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan
pemeliharaan.
4. Memiliki bisnis
pribadi yang sama dengan perusahaan.
5. Menghormati hak setiap
insan perusahaan untuk memiliki kegiatan di luar jam kerja, yang sah, di luar
pekerjaan dari perusahaan, dan yang bebas dari benturan dengan kepentingan.
6. Mengungkapkan dan
melaporkan setiap kepentingan dan atau kegiatan-kegiatan di luar pekerjaan dari
perusahaan.
7. Menghindarkan diri
dari memiliki suatu kepentingan baik keuangan maupun non-keuangan pada
organisasi / perusahaan yang merupakan pesaing.
8. Tidak akan memegang
jabatan pada lembaga-lembaga atau institusi lain di luar perusahaan dalam
bentuk apapun, kecuali telah mendapat persetujuan tertulisdari yang berwenang.
B. Etika dalam tempat kerja
Etika kerja adalah
aturan normatif yang mengandung sistem nilai dan prinsip moral yang merupakan
pedoman bagi karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya dalam perusahaan.
Agregasi dari perilaku karyawan yang beretika kerja merupakan gambaran etika kerja
karyawan dalam perusahaan. Karena itu, etika kerja karyawan secara normatif
diturunkan dari etika bisnis. Bahkan diturunkan dari perilaku etika pihak
manajemen. Ada dua hal yang terkandung dalam etika bisnis yaitu kepercayaan dan
tanggung jawab. Kepercayaan diterjemahkan kepada bagaimana mengembalikan
kejujuran dalam dunia kerja dan menolak stigma lama bahwa kepintaran berbisnis
diukur dari kelihaian memperdaya saingan. Sedangkan tanggung jawab diarahkan
atas mutu output sehingga insan bisnis jangan puas hanya terhadap kualitas
kerja yang asal-asalan. Adapun
beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan
berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
·
Etika Terhadap Saingan.
Kadang-kadang ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan
dengan menyebarkan rumor, bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi
produk saingan dirusak dan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra
negatif dari pihak konsumen.
·
Etika Hubungan dengan
Karyawan
Di dalam perusahaan ada aturan-aturan dan batas-batas etika yang
mengatur hubungan atasan dan bawahan missal; atasan harus ramah dan menghormati
hak-hak bawahan, karyawan diberi kesempatan naik pangkat dan memperoleh
penghargaan.
·
Etika dalam hubungan
dengan publik
Hubungan dengan publik harus dijaga sebaik mungkin, agar terpelihara
hubungan yang harmonis. Hubungan dengan publik ini menyangkut pemeliharaan
ekologi lingkungan hidup. Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi.
Daur ulang produk adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan perusahaan dalam
rangka mencegah polusi, dan menghemat sumber daya alam.
C. Aktivitas bisnis
internasional-masalah budaya
Apakah
sebuah bisnis merupakan multinasional sejati atau hanya menjual kepada beberapa
pasar luar negeri tertentu, terdapat sejumlah faktor yang akan berpengaruh
terhadap operasi internasionalnya. Keberhasilan dalam pasar luar negeri
sebagian besar ditentukan oleh cara-cara bisnis tersebut menanggapi hambatan
sosial, ekonomi, hukum, dan politik dalam perdagangan internasional.
Perbedaan Sosial dan Budaya :
Setiap
perusahaan yang memiliki rencana menjalankan bisnis di negara lain harus
memahami perbedaan antara masyarakat dan budaya negara tersebut dengan negara
asalnya, beberapa perbedaan tentu saja cukup jelas terlihat. Sebagai contoh,
perusahaan harus memperhitungkan faktor bahasa dalam melakukan penyesuaian
terhadap pengepakan, tanda dan logo.
D. Akuntabilitas sosial
Tujuan
Akuntanbilitas Sosial, antara lain:
1.
Untuk mengukur dan mengungkapkan dengan tepat
seluruh biaya dan manfaat bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh
aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan produksi suatu perusahaan.
2.
Untuk mengukur dan melaporkan pengaruh
kegiatan perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup : financial dan managerial
social accounting, social auditing.
3.
Untuk menginternalisir biaya sosial dan
manfaat sosial agar dapat menentukan suatu hasil yang lebih relevan dan
sempurna yang merupakan keuntungan sosial suatu perusahaan. Salah satu alasan
utama kemajuan akuntabilitas sosial menjadi lambat yaitu kesulitan dalam
pengukuran kontribusi dan kerugian. Prosesnya terdiri dari atas tiga langkah,
diantaranya:
·
Menentukan biaya dan manfaat social
yaitu Sistem nilai masyarakat merupakan faktor penting dari manfaat dan
biaya sosial. Masalah nilai diasumsikan dapat diatasi dengan menggunakan
beberapa jenis standar masyarakat dan mengidentifikasikan kontribusi dan
kerugian secara spesifik.
·
Kuantifikasi terhadap biaya dan manfaat yaitu
saat aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dan
kerugian serta kontribusi.
·
Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir
yaitu Tanggung Jawab Sosial Bisnis dunia bisnis hidup ditengah-tengah
masyarakat, kehidupannya tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu ada suatu tanggungjawab social yang dipikul oleh bisnis. Banyak
kritik dilancarkan oleh masyarakat terhadap bisnis yang kurang memperhatikan
lingkungan.
E. Manajemen krisis
Manajemen krisis
adalah respon pertama perusahaan terhadap sebuah kejadian yang dapat merubah
jalannya operasi bisnis yang telah berjalan normal. Artinya terjadi gangguan
pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan
untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi yang ada dan dengan demikian dapat
dikategorikan sebagai krisis.
Kejadian buruk dan
krisis yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari
bencana alam seperti tsunami, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat
berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Terdapat 6 aspek dalam
Penyusunan Rencana Bisnis, yaitu tindakan untuk menghadapi:
1. Situasi darurat
(emergency response),
2. Skenario untuk
pemulihan dari bencana (disaster recovery),
3. Skenario untuk
pemulihan bisnis (business recovery),
4. Strategi untuk memulai
bisnis kembali (business resumption),
5. Menyusun
rencana-rencana kemungkinan (contingency planning), dan
6. Manajemen krisis
(crisis management).
Pada hakekatnya dalam
setiap penanganan krisis, perusahaan perlu membentuk tim khusus. Tugas utama tim
manajemen krisis ini adalah mendukung para karyawan perusahaan selama masa
krisis terjadi. Kemudian menentukan dampak dari krisis yang terjadi terhadap
operasi bisnis yang berjalan normal, dan menjalin hubungan yang baik dengan
media untuk mendapatkan informasi tentang krisis yang terjadi. Sekaligus
menginformasikan kepada pihak-pihak yang terkait terhadap aksi-aksi yang
diambil perusahaan sehubungan dengan krisis yang terjadi.
Contoh Kasus:
Penggelembungan Nilai
(mark up) PT. Kimia Farma Tbk
Penggelembungan nilai (mark up) PT. Kimia Farma Tbk pada tahun 2001 (Arifin,
2005). Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar
lebih, padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BAPEPAM, penggelembungan
sebesar Rp 32,7 miliar tersebut berasal dari:
·
overstated atas penjualan pada
Unit Industri Bahan Baku sebesar Rp 2,7 miliar
·
overstated atas persediaan
barang pada Unit Logistik Sentral sebesar Rp 23,9 miliar
·
overstated pada persediaan
barang sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated atas penjualan
sebesar Rp 10,7 miliar pada unit Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Arifin
(2005) menyatakan bahwa para akuntan adalah salah satu
profesi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan perusahaan (corporate
governance). Dalam hubungannya dengan prinsip good corporate
governance (GCG), peran akuntan secara signifikan terlibat dalam berbagai
aktivitas penerapan prinsip-prinsipGCG. Terbongkarnya kasus–kasus
khususnya ilmu akuntansi yang terlibat dalam praktik
manajemen laba memberikan kesadaran tentang betapa pentingnya peran
dunia pendidikan dalam menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan
bermoral. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral
(akuntan) dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang
terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, dimana mahasiswa sebagai input, sedikit
banyaknya akan memiliki keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan
sebagai output.
Kasus
pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan mempunyai
pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan
etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo,
1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana
disebutkan di atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan
etika dalam melaksanakan pekerjaan profesi akuntan.
Pertanyaan–pertanyaan
tentang dugaan atas pelanggaran etika profesi akuntan terhadap kepercayaan
publik telah menimbulkan campur tangan pemerintah. Ponemon dan Gabhart
(1993), memberikan argumen bahwa hilangnya kepercayaan publik
dan meningkatnya campur tangan dari pemerintah pada gilirannya
menimbulkan dan membawa kepada matinya profesi akuntan, dimana masalah etika
melekat dalam lingkungan pekerjaan para akuntan professional (Ponemon
dan Gabhart, 1993; Leung dan Cooper, 1995).
Para
akuntan profesional cenderung mengabaikan persoalan moral bilamana menemukan
masalah yang bersifat teknis (Volker,1984; Bebeau, dkk. 1985,
dalam Marwanto, 2007), artinya bahwa para akuntan profesional
cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan dengan suatu persoalan
akuntansi.
Disisi
lain, karakter moral berkenaan dengan personaliti, seperti kekuatan ego,
keteguhan ego, kegigihan, kekerasan hati, pemikiran dan
kekuatan akan pendirian serta keberanian yang berguna untuk melakukan tindakan
yang benar (Rest, 1986). Seorang individu yang memiliki
kemampuan dalam menentukan apa yang secara moral baik atau buruk dan benar atau
salah, mungkin bisa gagal atau salah dalam berkelakuan secara moral sebagai
hasil dari kegagalan dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan moral(Walker,
2002). Dalam berkelakuan secara moral seorang individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor individu yang dimilikinya.
Jones
(1991) telah mengembangkan suatu model isu-kontinjen untuk
menguji pengaruh persepsi intensitas moral dan menghubungkannya dengan ‘model
empat komponen Rest’. Rest (1986) membangun model
kognitif tentang pengambilan keputusan (empat model komponen) untuk
menguji pengembangan proses-proses pemikiran moral dan perilaku individu (Chan
dan Leung, 2006). Rest menyatakan bahwa untuk bertindak
secara moral, seorang individu melakukan empat dasar proses psikologi, yaitu:
1.
Sensitivitas Moral (Moral Sensitivity)
2.
Pertimbangan Moral (Moral Judgment)
3.
Motivasi Moral (Moral Intentions)
4.
Perilaku Moral (Moral Behavior))
Jones
(1991) mengungkapkan bahwa isu-isu intensitas moral secara
signifikan mempengaruhi proses pembuatan keputusan moral. Penelitian sebelumnya
telah menguji pengaruh komponen dari intensitas moral terhadap sensitivitas
moral (Singhapakdi dkk., 1996; May dan Pauli, 2000), pertimbangan
moral (Webber, 1990, 1999; Morris dan McDonald, 1995; Ketchand dkk.,
1999; Shafer dkk., 1999), dan intensi moral(Singhapakdi dkk., 1996,
1999; Shafer dkk., 1999; May dan Pauli, 2000).
Dalam penelitian-penelitian
tersebut, beberapa komponen intensitas moral ditemukan berpengaruh secara
signifikan dalam proses pembuatan keputusan moral dari berbagai responden.
Bagaimanapun, terdapat sedikit penelitian yang melakukan pengujian pada
berbagai karakteristik dari isu-isu dan pengaruhnya terhadap proses pembuatan
keputusan moral pada mahasiswa akuntansi.
Kesimpulan Kasus :
Kasus-kasus pelanggaran
terhadap etika dalam dunia bisnis yang terjadi di Indonesia belakangan ini
seharusnya mengarahkan kebutuhan bagi lebih banyak penelitian yang meneliti
mengenai pembuatan keputusan etis. Kerasnya isu dalam hal pembuatan keputusan
moral terasa sangat penting dalam menegakkan kembali martabat dan kehormatan
profesi akuntan yang sedang dilanda krisis kepercayaan dari masyarakat luas.
Penelitian pengembangan
etika akuntan profesional seharusnya dimulai dengan penelitian mahasiswa
akuntansi di bangku kuliah, dimana mereka ditanamkan perilaku moral dan
nilai-nilai etika profesional akuntan (Jeffrey, 1993).
Menurut Ponemon dan Glazer (1990), bahwa sosialisasi etika profesi
akuntan pada kenyataanya berawal dari masa kuliah, dimana mahasiswa akuntansi
sebagai calon akuntan profesional di masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nama : Debi Sagita
NPM : 22214601
Kelas : 4EB13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar